Melewatkanmu
Tak jauh beda dengan banyak senja yang
telah lalu. Aku masih di tempat ini. Tempat di mana aku bisa menerawang
objek-objek tanpa batasan ruang dan waktu. Tempat di mana aku bisa
melakukan lompatan cosmos hanya dengan satu kali pejam. Tempat
di mana aku bisa menikmati deret nada dari kepak-kepak mungil burung
gereja. Dan yang tak kalah setia kepada senja, secangkir teh dengan
kepul uap meliuk-liuk lembut di atas permukaan. Sebuah koreografi cantik
persembahan panggung sederhana.
Tanpa tangan-tangan abstrak, waktu hanyalah
jarum-jarum yang bergerak sesuai dengan mekanismenya. Namun kali ini,
aku memandang waktu begitu relatif. Seakan tau keenggananku untuk menala
waktu, ia justru berjalan dengan lambat, melambat, sangat lambat.
Sampai terkadang ia meledekku dengan menghentikan langkahnya.
Di taman ini, beberapa waktu lalu, senja masih
terasa hangat. Masih ada kamu duduk di bangku kanan, menemaniku
menghitung kawanan bangau yang sesekali meramaikan lalu lintas awan.
Yang terus saja terputar di kepalaku adalah ketika kita berdebat soal
jumlah bangau-bangau itu. Aku memaksamu untuk mengalah walaupun
sebenarnya tahu kau lebih jeli dalam menghitung. Namun, entah ke mana
perginya mereka. Mungkin kapten bangau berusaha mengubah alur migrasi
pasukannya sehingga tak lagi perlu melewati rumah mungil milikku.
Seperti sudah dalam satu rantai, aku kehilangan kamu, maka aku
kehilangan mereka, dan juga kehangatan senja.
Entah sudah berapa senja dan kepul uap teh hangat
yang kulewatkan tanpa iringan denting gitarmu. Bisa kau bayangkan betapa
meruginya aku yang tak lagi bisa menikmati getar pita suaramu, dan
entah sudah berapa banyak bunyi detik yang tertangkap kedua daun
telingaku. Apakah perlu kuhitung detik-detik itu untukmu? Namun kupikir,
itu takkan baik, sebab kau pasti kepusingan mengeja angka-angka yang
nantinya tersuguh di hadapanmu. Tertera terlalu banyak titik.
Menerawang ke arah langit sama halnya dengan
membuka lembar demi lembar buku, kemudian aku terhenti di batas
senyumanmu. Batas yang sampai saat ini belum mampu kupanjat.
Hidup ibarat lautan yang orang-orang tak pernah
tahu di mana ujungnya. Maka itu, aku suka sekali senyummu. Bahkan tak
sekadar menyukainya, aku membutuhkannya untuk dapat menegakkan layar
yang akan membawa kapalku menuju lautan lepas. Jadi bisa kau bayangkan
bagaimana kepayahanku saat jauh dari matamu.
Kau perlu tahu kesulitanku dalam melerai hati dan
logika yang riuh berperang. Tak cukup banyak semangatku untuk terus
berada di tengah-tengah teriakan keduanya. Itu membuatku kelelahan
hingga akhirnya dapat kau lihat aku seperti debu-debu istana yang
menunggu untuk disapu. Sepasrah bulu-bulu merpati yang
menunggu angin kencang demi bisa berpindah kemanapun asal tak sampai
jatuh tubuhnya ke tanah, atau seperti umang-umang yang meninggalkan
cangkangnya, membiarkannya terkikis dengan malang.
Banyak yang berubah. Banyak yang berevolusi. Namun
tidak dengan kenyataan. Kenyataan terlalu kaku untuk mengubah caranya
membangunkanku dengan tamparan. Kehilanganmu tidaklah indah. Oleh
karenanya kucuri banyak metafora agar setidaknya senduku pun dapat kau
nikmati.
Sepatutnya aku berterima kasih kepada sore itu.
Terpantul dengan tegas di depan retina mataku, bukan lagi denganku kau
melewatkan senja. Bukan lagi aku yang menghangatkan diri di lingkar
lenganmu. Bukan lagi aku yang menari-nari di sela jemarimu yang fasih
memetik nada demi nada. Bukan lagi denganku kau menghitung jumlah
kawanan bangau. Dan, bukan lagi denganku kau bisa berbahagia.
Seharusnya aku tak perlu lagi menundukkan kepala
saat kau bertamu di pikiranku. Seharusnya tak ada lagi aku yang
mengidam-idamkan berada dipelukmu. Seharusnya tanah taman ini tak perlu
basah oleh bulir-bulir airmata. Dan seharusnya, aku telah mampu
melewatkanmu.
kata kata dari zenna sabrina :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar