Rabu, 16 Januari 2013

Melewatkanmu

Tak jauh beda dengan banyak senja yang telah lalu. Aku masih di tempat ini. Tempat di mana aku bisa menerawang objek-objek tanpa batasan ruang dan waktu. Tempat di mana aku bisa melakukan lompatan cosmos hanya dengan satu kali pejam. Tempat di mana aku bisa menikmati deret nada dari kepak-kepak mungil burung gereja. Dan yang tak kalah setia kepada senja, secangkir teh dengan kepul uap meliuk-liuk lembut di atas permukaan. Sebuah koreografi cantik persembahan panggung sederhana.
Tanpa tangan-tangan abstrak, waktu hanyalah jarum-jarum yang bergerak sesuai dengan mekanismenya. Namun kali ini, aku memandang waktu begitu relatif. Seakan tau keenggananku untuk menala waktu, ia justru berjalan dengan lambat, melambat, sangat lambat. Sampai terkadang ia meledekku dengan menghentikan langkahnya.

Di taman ini, beberapa waktu lalu, senja masih terasa hangat. Masih ada kamu duduk di bangku kanan, menemaniku menghitung kawanan bangau yang sesekali meramaikan lalu lintas awan. Yang terus saja terputar di kepalaku adalah ketika kita berdebat soal jumlah bangau-bangau itu. Aku memaksamu untuk mengalah walaupun sebenarnya tahu kau lebih jeli dalam menghitung. Namun, entah ke mana perginya mereka. Mungkin kapten bangau berusaha mengubah alur migrasi pasukannya sehingga tak lagi perlu melewati rumah mungil milikku. Seperti sudah dalam satu rantai, aku kehilangan kamu, maka aku kehilangan mereka, dan juga kehangatan senja.

Entah sudah berapa senja dan kepul uap teh hangat yang kulewatkan tanpa iringan denting gitarmu. Bisa kau bayangkan betapa meruginya aku yang tak lagi bisa menikmati getar pita suaramu, dan entah sudah berapa banyak bunyi detik yang tertangkap kedua daun telingaku. Apakah perlu kuhitung detik-detik itu untukmu? Namun kupikir, itu takkan baik, sebab kau pasti kepusingan mengeja angka-angka yang nantinya tersuguh di hadapanmu. Tertera terlalu banyak titik.

Menerawang ke arah langit sama halnya dengan membuka lembar demi lembar buku, kemudian aku terhenti di batas senyumanmu. Batas yang sampai saat ini belum mampu kupanjat.
Hidup ibarat lautan yang orang-orang tak pernah tahu di mana ujungnya. Maka itu, aku suka sekali senyummu. Bahkan tak sekadar menyukainya, aku membutuhkannya untuk dapat menegakkan layar yang akan membawa kapalku menuju lautan lepas. Jadi bisa kau bayangkan bagaimana kepayahanku saat jauh dari matamu.

Kau perlu tahu kesulitanku dalam melerai hati dan logika yang riuh berperang. Tak cukup banyak semangatku untuk terus berada di tengah-tengah teriakan keduanya. Itu membuatku kelelahan hingga akhirnya dapat kau lihat aku seperti debu-debu istana yang menunggu untuk disapu. Sepasrah bulu-bulu  merpati yang menunggu angin kencang demi bisa berpindah kemanapun asal tak sampai jatuh tubuhnya ke tanah, atau seperti umang-umang yang meninggalkan cangkangnya, membiarkannya terkikis dengan malang.
Banyak yang berubah. Banyak yang berevolusi. Namun tidak dengan kenyataan. Kenyataan terlalu kaku untuk mengubah caranya membangunkanku dengan tamparan. Kehilanganmu tidaklah indah. Oleh karenanya kucuri banyak metafora agar setidaknya senduku pun dapat kau nikmati.

Sepatutnya aku berterima kasih kepada sore itu. Terpantul dengan tegas di depan retina mataku, bukan lagi denganku kau melewatkan senja. Bukan lagi aku yang menghangatkan diri di lingkar lenganmu. Bukan lagi aku yang menari-nari di sela jemarimu yang fasih memetik nada demi nada. Bukan lagi denganku kau menghitung jumlah kawanan bangau. Dan, bukan lagi denganku kau bisa berbahagia.

Seharusnya aku tak perlu lagi menundukkan kepala saat kau bertamu di pikiranku. Seharusnya tak ada lagi aku yang mengidam-idamkan berada dipelukmu. Seharusnya tanah taman ini tak perlu basah oleh bulir-bulir airmata. Dan seharusnya, aku telah mampu melewatkanmu.


kata kata dari  zenna sabrina :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar